Jakarta ridgwayband – Penyanyi senior Ikke Nurjanah menegaskan peran strategis Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai satu-satunya pintu resmi dalam sistem pembayaran royalti atas penggunaan komersial lagu dan musik di ruang publik. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 yang menjadi dasar hukum pengelolaan royalti secara nasional.
Dalam keterangannya, Ikke menyebutkan bahwa pembayaran royalti dari pelaku usaha seperti penyelenggara konser, karaoke, hingga pemilik pusat rekreasi wajib dilakukan melalui LMKN sebagai lembaga pengelola utama yang ditunjuk oleh pemerintah.
Apa Itu Royalti Performing Rights?
Istilah performing rights merujuk pada hak ekonomi atas penggunaan karya musik secara publik dan komersial. Ini mencakup pemutaran lagu di tempat umum seperti mal, hotel, restoran, dan juga melalui pertunjukan langsung. Ketika lagu digunakan dalam konteks komersial, pemilik usaha diwajibkan membayar royalti sebagai bentuk kompensasi kepada pencipta lagu maupun artis yang terlibat.
LMKN sebagai Penghubung Utama antara Kreator dan Komersialisasi
LMKN bertindak sebagai pengumpul dan penyalur royalti performing rights dari pengguna ke pemilik hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Di Indonesia saat ini terdapat empat LMK hak cipta dan sepuluh LMK hak terkait, masing-masing mewakili pencipta lagu, artis, maupun produser rekaman.
Ikke menjelaskan bahwa peran LMKN sangat krusial dalam memastikan pembayaran royalti berjalan transparan dan adil bagi semua pelaku industri musik. Selain menjadi lembaga pengumpul, LMKN juga bertanggung jawab atas distribusi royalti secara akurat ke para pemilik hak melalui sistem yang diatur secara legal.
Dasar Hukum Undang-Undang Hak Cipta dan PP 56/2021
Sistem satu pintu ini dijamin oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam Pasal 9, disebutkan bahwa penggunaan karya secara komersial wajib mendapat izin dari penciptanya. Namun di Pasal 23 ayat 5, disebutkan bahwa izin langsung tak diperlukan selama royalti dibayarkan melalui LMK yang sah.
“Bayarannya wajib, tapi izinnya bisa dikecualikan karena sudah melalui jalur kolektif,” jelas Ikke.
WAMI dan Kolaborasi Internasional
Salah satu LMK terkemuka, Wahana Musik Indonesia (WAMI), telah menjalin kerja sama dengan lembaga hak cipta internasional untuk menjamin pelindungan karya anak bangsa di luar negeri. Hal ini penting agar musisi Indonesia tetap mendapatkan royalti saat lagunya digunakan secara global.
Transparansi dan Akuntabilitas di Era Digital
Ikke juga menyoroti pentingnya transparansi. Para musisi, pencipta lagu, serta pemilik hak terkait dapat meminta laporan royalti dari LMK masing-masing. LMKN sendiri diwajibkan mempublikasikan laporan keuangan hasil audit tahunan secara terbuka di situs resmi.
“Ini bagian dari upaya mendorong industri musik yang sehat, adil, dan profesional,” kata Ikke.
Tarif Royalti Sudah Diatur Pemerintah
Besaran royalti untuk berbagai jenis pemanfaatan lagu telah diatur melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Keputusan ini memuat standar tarif bagi pengguna lagu di berbagai ruang publik, mulai dari hotel, restoran, transportasi umum, hingga acara live.
Menuju Ekosistem Musik yang Lebih Sejahtera
Dengan sistem kolektif yang terpusat melalui LMKN, diharapkan industri musik Tanah Air semakin terlindungi. Tidak hanya musisi papan atas, para pencipta lagu pemula pun berkesempatan mendapatkan hak ekonominya secara layak.
Musik bukan sekadar hiburan, tapi juga karya intelektual yang harus dihargai. Dan dengan peran aktif LMKN, proses penghargaan itu bisa berjalan dengan mekanisme yang lebih sistematis, profesional, dan berkelanjutan.