Greenpeace Soroti Dampak Tambang Nikel di Raja Ampat: Ancaman Serius untuk Ekowisata dan Keanekaragaman Hayati

Raja Ampat
Raja Ampat

Jakarta, ridgwayband – Raja Ampat, permata ekowisata Indonesia yang dikenal dunia karena keindahan bawah lautnya, kini menghadapi ancaman nyata. Isu penambangan nikel yang mulai memasuki wilayah kepulauan ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia.

Dalam sebuah aksi damai yang digelar saat Indonesia Critical Minerals Conference & Expo pada 3 Juni 2025, tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan Papua melakukan protes langsung di hadapan Wakil Menteri Luar Negeri. Aksi tersebut menyoroti krisis ekologi yang bisa ditimbulkan oleh tambang nikel terhadap alam dan masyarakat Raja Ampat.

Ancaman Nyata: Dari Laut Hingga Hutan Tropis

Menurut Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, eksploitasi nikel di wilayah Raja Ampat bukan hanya ancaman ekologis biasa. Kawasan ini merupakan rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia, lebih dari 1.400 jenis ikan karang, dan ratusan spesies moluska serta hewan laut langka seperti pari manta raksasa (Mobula birostris).

Selat Dampier, salah satu spot arus kuat yang menjadi habitat pari manta, kini dalam posisi rawan akibat lalu lintas tongkang tambang yang intens. Selain itu, beberapa pulau kecil seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran telah menjadi lokasi aktivitas penambangan meskipun secara hukum dilarang.

Burung Cenderawasih Botak di Ambang Kehilangan Habitat

Bukan hanya laut yang terdampak. Hutan tropis di Raja Ampat juga menjadi rumah bagi burung cenderawasih botak (Cicinnurus respublica), satwa endemik langka yang menjadi simbol kebanggaan Papua. Spesies ini bahkan menjadi daya tarik utama wisatawan mancanegara, khususnya para pengamat burung.

Keberadaan mereka yang dekat dengan permukiman warga di Distrik Waisai menjadi penggerak ekonomi lokal melalui ekowisata berbasis homestay, terutama bagi pengunjung yang ingin melihat burung tersebut di habitat aslinya.

Namun, apabila tambang terus meluas tanpa kajian lingkungan yang komprehensif, ekosistem yang menjadi penopang populasi cenderawasih akan tergerus, dan potensi hilangnya spesies ini semakin tinggi.

Ekowisata Terancam: Potensi Ekonomi di Ujung Tanduk

Data dari pemerintah daerah menunjukkan bahwa pada tahun 2020, ekowisata menyumbang sekitar 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Raja Ampat, setara dengan Rp 7 miliar. Sektor ini mencakup retribusi penginapan, pajak kapal wisata, dan kontribusi dari kartu wisata untuk pengunjung domestik maupun internasional.

Kerusakan lingkungan akibat tambang nikel dikhawatirkan akan menurunkan minat wisatawan secara drastis. Terumbu karang yang rusak akibat tongkang, hutan yang digunduli, dan gangguan ekosistem akan mencoreng citra Raja Ampat sebagai destinasi konservasi.

Tanggapan Pemerintah: Evaluasi dan Kajian Diperlukan

Menanggapi tekanan publik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengonfirmasi bahwa laporan terkait tambang nikel di Raja Ampat sedang diproses. Sekretaris Utama KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, menyebutkan bahwa penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal tengah ditindaklanjuti oleh unit Gakkum.

Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan akan memanggil pihak perusahaan tambang untuk mengevaluasi seluruh izin yang beroperasi di Raja Ampat. Ia juga menambahkan bahwa wacana pembangunan smelter di Papua akan dikaji lebih lanjut dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan otonomi khusus wilayah tersebut.

Greenpeace Desak Moratorium Tambang di Pulau Kecil

Greenpeace menegaskan bahwa tambang nikel di pulau-pulau kecil seperti yang ada di Raja Ampat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang ini secara tegas melarang aktivitas pertambangan di wilayah-wilayah dengan luasan terbatas yang rentan terhadap degradasi ekosistem.

Kiki menyebutkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan tropis dan vegetasi alami telah dirusak di tiga pulau yang masuk kawasan Raja Ampat. Dampak jangka panjangnya bukan hanya hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi juga memicu krisis sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat adat Papua.

Pilih Industri atau Alam?

Dilema antara hilirisasi industri dan pelestarian alam kini menjadi titik kritis di Raja Ampat. Di satu sisi, nikel memang dibutuhkan dunia untuk transisi energi bersih seperti baterai kendaraan listrik. Namun, membayar harga dengan menghancurkan salah satu ekosistem laut terkaya di dunia bisa menjadi kesalahan strategis yang tak tergantikan.

Greenpeace dan masyarakat Papua menyerukan langkah konkret: moratorium tambang nikel di wilayah pulau kecil Raja Ampat, audit izin, dan komitmen untuk membangun ekonomi yang selaras dengan pelestarian lingkungan.