Jakarta – Industri perfilman Indonesia mencatat sejarah baru saat film animasi Jumbo berhasil menembus rekor sebagai film terlaris sepanjang masa di tanah air. Kesuksesan ini menandai titik balik penting bagi perkembangan film animasi lokal yang selama ini berjuang menembus dominasi film horor dan drama di bioskop.
Namun, keberhasilan Jumbo bukanlah kebetulan. Ini adalah buah dari proses panjang dan konsistensi dalam mengembangkan kualitas animasi lokal baik dari segi cerita, visual, maupun strategi distribusi.
Jejak Panjang Film Animasi Indonesia
Jika menelusuri ke belakang, film animasi Indonesia sudah menunjukkan geliatnya sejak lebih dari satu dekade lalu. Salah satu pionirnya adalah Meraih Mimpi (2009), yang membuka jalan bagi karya-karya berikutnya seperti Battle of Surabaya (2015), sebuah film yang menuai berbagai penghargaan internasional. Film tersebut memenangkan Most People’s Choice Award di International Movie Trailer Festival (IMTF), Best Animation di Hollywood International Motion Pictures Film Festival 2018, serta penghargaan serupa di Milan International Film Festival 2017.
Keberhasilan itu menjadi cambuk bagi sineas muda untuk terus mengembangkan film animasi yang mampu bersaing, baik dari segi teknis maupun narasi. Sejak saat itu, bermunculan berbagai judul animasi seperti Si Juki the Movie (2017), Riki Rhino (2020), Nussa (2021), hingga Adit Sopo Jarwo the Movie (2021).
Peran Besar IP Lokal dan Basis Penggemar
Banyak film animasi lokal yang lahir dari Intellectual Property (IP) yang sudah dikenal sebelumnya. Si Juki berasal dari komik populer yang hadir sejak 2012, Nussa dikenal luas melalui serial YouTube sejak 2018, sementara Adit & Sopo Jarwo lebih dulu tayang sebagai serial televisi anak sejak 2014.
Memiliki basis penggemar memang membantu dalam proses adaptasi ke layar lebar. Namun, itu bukan jaminan mutlak kesuksesan. Setiap film tetap membutuhkan strategi promosi, momentum rilis yang tepat, dan kualitas yang dapat menggerakkan penonton untuk datang ke bioskop.
Tantangan Ketat Bioskop dan Pengaruh Ulasan Sosial Media
Industri bioskop memiliki aturan tak tertulis: jika penonton sepi, film bisa langsung diturunkan dari layar. Fakta ini membuat film animasi harus mampu mencuri perhatian sejak awal tayang. Berdasarkan pola yang ada, penurunan jumlah penonton hingga 30–50 persen bisa terjadi hanya dalam minggu kedua penayangan.
Dalam era digital saat ini, ulasan di media sosial memiliki kekuatan besar. Rekomendasi dari mulut ke mulut secara online menjadi alat promosi yang sangat berpengaruh. Film seperti Jumbo berhasil memanfaatkan efek ini. Begitu ditayangkan saat libur Lebaran, cerita yang menyentuh dan kualitas animasinya membuat penonton ramai membicarakan dan merekomendasikannya, hingga viral dan jadi tren.
Momentum Liburan dan Segmen Keluarga
Rilis Jumbo bertepatan dengan momen libur Lebaran menjadi faktor pendukung penting. Di tengah dominasi film horor dan drama, hadirnya tontonan anak-anak yang menyenangkan jadi penyegar. Menurut pengamat film Satrio Pepo Pamungkas, hal ini menghidupkan kembali bioskop sebagai sarana hiburan keluarga, khususnya bagi anak-anak.
“Anak-anak jarang punya pilihan di bioskop. Ketika muncul film seperti Jumbo, apalagi dengan cerita yang dekat dengan budaya Indonesia, mereka antusias. Dan biasanya, anak-anak nonton bareng orang tua, kadang juga mengajak saudara,” ujar Satrio.
Segmentasi penonton anak-anak justru membuka potensi besar. Satu anak bisa mengajak tiga sampai empat orang lain untuk ikut menonton. Selain itu, kebiasaan anak yang gemar menonton berulang kali turut mendongkrak penjualan tiket.
Kualitas Cerita dan Komitmen Produksi
Salah satu alasan utama mengapa animasi lokal semakin diterima adalah peningkatan kualitas produksi. Ryan Adriandhy, kreator dari Jumbo, mengungkapkan bahwa pencapaian filmnya tak lepas dari proses yang serius—mulai dari penulisan naskah, pemilihan pengisi suara, hingga pengerahan lebih dari 400 animator lokal terbaik.
“Kalau mau hasil yang maksimal, kita harus investasi pada prosesnya. Investasi pada talenta lokal. Itu yang sebenarnya penting,” kata Ryan.
Ia juga menegaskan bahwa kesuksesan Jumbo bukan sekadar bukti bahwa film animasi bisa laku, tapi menunjukkan bahwa kerja keras dan perhatian pada detail membuahkan hasil. “Kesimpulannya bukan ‘bikin animasi biar laku’, tapi bagaimana kita serius di setiap tahap produksinya,” tegasnya.
Harapan dan Masa Depan Animasi Lokal
Perjalanan Jumbo membuktikan bahwa film animasi buatan Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Namun, keberhasilan ini seharusnya menjadi inspirasi, bukan puncak. Tantangan ke depan adalah bagaimana mempertahankan kualitas dan menghadirkan lebih banyak cerita yang relevan, orisinal, dan menggugah hati penonton.
Diperlukan ekosistem yang sehat kolaborasi antara kreator, investor, distributor, dan penonton agar film animasi lokal tidak hanya berkembang, tapi juga berkelanjutan.